DI BALIK RITUAL (HAJI) BAWAKARAENG
21:39:00
Add Comment
Janganlah pernah tanyakan kepada seorang muslim, apakah Ia punya niatan naik haji ? Pertanyaan itu bagi saya tak lebih dari sekadar basa-basi. Karena tak satupun dari puluhan juta kaum muslimin yang tidak bercita-cita menunaikan rukun Islam kelima ini. Sayapun adalah satu dari sekian banyak umat Islam yang selalu mengharu-birukan doa untuk mendapat undangan Sang Khaliq ke Rumah-Nya yang suci itu. Naik haji ke Baitullah (Makkah al-Muqarramah) memang adalah idaman tiap umat Islam. Betapa tidak, selain pelaksanaannya merupakan pemenuhan rukun Islam yang kelima, beribadah di tanah suci ini, nilai pahalanya bisa seribu kali lipat dibanding dengan beribadah di tanah air.
Demikianlah keyakinan kita, keyakinan umat Islam yang tentu saja ditunjang dengan berbagai dalil naqli. Belum lagi kisah sahabat dan handai tolan, para pendahulu kita dalam berhaji, yakinlah disana penuh dengan nuansa prophetic, sacral, mengharukan, sesak dengan spritualitas dan terkadang dibarengi cerita misterius nan ghaib. Kesemuanya itu bagai irama buluh perindu mengetuk dan mengelus-elus rasa kita yang paling dalam, pada gilirannya menghadirkan hasrat dan gelora rindu yang secara rohaniah barulah terpenuhi jika bisa menyaksikan secara langsung ka’bah al-mukarramah.
Maka tak mengherankan bila tiap tahunnya jemaah haji di Indonesia terus bertambah, bahkan melebihi quota yang telah ditetapkan. Tak peduli kondisi perekonomian bangsa kita yang hancur-hancuran dan kemiskinan kasat mata dimana-mana, jumlah orang Islam yang ingin menunaikan rukun Islam yang kelima ini tidak pernah susut.
Tapi, bagaimana jika ada seseorang atau sekelompok masyarakat yang tiba-tiba memilih cara lain untuk memenuhi ritual yang dianggap sepadan dengan 'haji' ?. Dianggap cara lain karena berbeda dengan pelaksanaan haji yang mainstream. Jika lazimnya haji itu ritual yang semua prosesnya dilakukan di Mekkah-Madinah-Mina , maka yang ini justru ritualnya di puncak Bawakaraeng, salah satu gunung di Sul-sel.
Ritual (Haji) Bawakaraeng oleh sebagian besar umat Islam mungkin dianggap ngawur. Yang gampang menunduh orang sesat, lelaku semacam ini adalah makanan empuknya. Mereka akan segera memberi stempel sesat, murtad, musyrik dan segudang streotipe lainnya. Bahkan sebagaian dari kita yang merasa agamanya paling benar biasanya buru-buru meyerukan kepada aparat yang berwenang untuk membubarkan atau menangkapi komunitas masyarakat seperti ini dengan alasan klasik “meresahkan atau mengganggu masyarakat”. Padahal jika dipikir-pikir lagi, gimana masyarakat mau terganggu bin resah, lha wong… ritualnya jauh di atas gunung. Mereka jungkir-balik di atas sana, teriak-teriak sampai serak, sesungguhnya juga kita tidak melihat dan mendengarnya kan ?
Tapi sebelum terlanjur memberikan label sesat atau bahkan berupaya membubarkan kelompok seperti Komunitas (Haji) Bawakaraeng ini, sebaiknya kita memahami dulu keberadan dan motif kemuncullannya. Siapa tau yang kita anggap sesat itu, di dalamnya ternyata penuh hikmah; tentang kesalehan, kepasrahan dan keikhlasan. Bahkan sangat mungkin di sana, pada ritual (haji) bawakaraeng itu, terdapat symbol resistensi dan pertarungan tentang pusat dan pinggir akan makna kebenaran agama.
Ritual (Haji) Bawakaraeng bukanlah sesuatu yang muncul tiba-tiba dari kelompok masyarakat yang sekedar cari sensasi. Tak juga sesederhana dugaan beberapa kalangan bahwa tradisi semacam ini muncul karena masih kurangnya pemahaman agama (Islam) dari beberapa kelompok di masyarakat kita. Tradisi semacam ini sudah berjalan lama dalam medan negosiasi dan kontestasi yang begitu rumit antara agama (Islam) dan tradisi lokal.
Diperkirakan jauh sebelum abad ke-15, Pada masa kerajaan Gowa dan kerajaan-kerajaan lainnya di Sulawesi-selatan, masyarakat sul-sel sudah sering melaksanakan ritual di puncak Bawakaraeng. A.A.Cence (1931) dan De Jong (1996) dua diantara peneliti tentang keyakinan Orang Sul-sel menyatakan, bahwa kebiasaan melaksanakan ritual di Puncak Bawakaraeang ini berkaitan dengan sebagian kepercayaan masyarakat Sul-sel yang disebut dengan Patuntung. Dalam kepercayaan ini diyakini adanya Sang Pencipta yang disebut dengan To Kammayya Kananna (Yang pasti terjadi ucapannya) yang bersemayam ditempat yang tinggi. Karena itu dalam berhubungan dengan Sang Pencipta ini, masyarakat Sulawesi-Selatan senantiasa mencari tempat yang dirasa dekat dengan sang Pencipta dan tempat itu adalah gunung. Namun pada saat itu ritual di Bawakaraeng masih merupakan khas ritual masyarakat lokal dan belum diistilahkan dengan haji Bawakaraeng.
Kedatangan Islam yang diperkirakan sudah dipeluk oleh kalangan masyarakat Sul-sel sekitar abad ke-13-15, cukup mempengaruhi keberadaan dari keyakinan-keyakinan lokal seperti tradisi Bawakaraeng ini. Saat itu meskipun Islam tidak datang dengan missi menghabisi kebudayaan setempat namun tetap saja mencoba untuk meng-“agama”-kan masyarakat sul-sel, termasuk ritual Bawakaraeng ini.
Untuk mempertahankan tradisi yang mereka yakini, masyarakat lokal ini berupaya untuk beradaptasi dengan ajaran Islam yang datang dengan menegosiasikan beberapa dari tradisi mereka dengan ajaran Islam. Proses peniruan-peniruan atau meminjam bahasa Homi Bhaba, “mimikri”, mulai berlangsung. Ajaran Islam seperti Haji ditiru dan diadaptasi kedalam tradisi naik ke Bawakaraeng masyarakat sul-sel. Tentu saja keliru bila mengasumsikan proses adaptasi dilakukan serampangan dan senaknya oleh komunitas masyarakat lokal ini. Justru proses ini mereka lakukan, karena disatu sisi harus mengikuti ajaran baru yang bernama Islam namun disisi lain mereka tetap berupaya mempertahankan tradisi mereka. Untuk memepertahankan tradisi itu, komunitas Bawakaraeng berupaya memasuki ruang-ruang agama yang bisa di negosiasi, misalnya pada bentuk-bentuk formal (eksoteris) dari agama yang masih menyisakan ruang tafsir.
Proses inilah kemudian yang memunculkan tradisi ritual (haji) Bawakaraeng. Yaitu proses negosiasi antara kebiasaan naik ke bawakaraeng dengan ritual haji dalam Islam. Dalam proses ini nampak terjadi peniruan-peniruan itu di tingkat formalnya, misalnya peyebutan nama-nama tempat yang sama antara tempat haji di Mekkah dan di Bawakaraeng. Jika di Mekkah ada Kabbah dan kuburan Rasulullah maka mereka juga menyebut ada Kabbah, Madinah atau Kuburan Rasulullah di Bawakaraeng. Namun dalam tataran nilai kehajian, mereka hampir sepakat untuk tidak mengatakan mereka sudah berhaji atau tidak. Dalam pandangan mereka soal apakah mereka sudah haji atau tidak itu merupakan urusan Tuhan. Itulah kenapa sedari awal saya memberi tanda “kurung” terhadap kata 'haji' ini pada istilah 'haji' Bawakaraeng, sebab penganut tradisi ini tidak pernah mendaku diri sebagai haji.
Gelaran itu sendiri, sebenarnya disematkan orang luar, tentu dengan maksud untuk menunjukkan kengawuran tradisi ini. Namun dengan lihai, komunitas pengusung tradisi ini mengambilnya sebagai identitas untuk menunjukkan pada khalayak bahwa tradisi mereka bukanlah kemusyrikan atau penyembahan berhala. Justru ini adalah ritual yang bisa sangat Islami; seirama dengan ritual berhaji di Tanah Suci Mekkah.
Tapi apakah betul ritual mereka tidak sejajar dengan pahala haji ?. Tunggu dulu, itu soal lain. Kalau ini yang bermain bukan soal-soal eksoteris dan formalis. Tempat bisa tidak menjadi ukuran, cara tidaklah jadi patokan, apakah Allah akan membalas susah payah mereka untuk berdekatan dan berasyik masyuk dengan-Nya, setara pahala haji atau tidak. Bukankah Ali al-Muwaffaq si tukang sol sepatu, mendapatkan pahala haji, justru bukan karena naik ke Mekkah. Ia malah menyerahkan ongkos naik hajinya yang dikumpulkan bertahun-tahun untuk menolong tetangganya yang lebih membutuhkan. Tapi jutru di titik itulah Ia mendapatkan balasan pahala haji.
Kisah tak kalah mencengangkannya adalah kisah seorang sufi yang ke Mekkah ingin berhaji dan mengunjungi ka’bah, tapi ka’bah tidak ada di tempat. Ternyata setelah dilacak, ka’bah malah mengunjungi Rabiatul Adawiyah, seorang sufi perempuan yang terkenal. Dan ketika ditelusuri ternyata bagi Rabiatul Adawiyah tempat dan segala ciptaan Allah tak ada lagi di hatinya. Yang ada hanya Sang pencipta dari Ka’bah tersebut. Karena itu Ka’bah sebagai makhluk tunduk terhadap sang pencintaKhaliq itu dan berkenan datang mengunjungi Rabiatul Adawiyah.
Mungkin cerita itu kental dengan fiksinya. Tapi pesannya jelas. Allahlah yang punya wewenang menentukan pahala seseorang. Haji secara syariat pelaksanaannya memang di Mekkah, tapi jika niat tidak ikhlas dan tujuan hanya sekedar terpandang secara social, boleh jadi pahala kita akan di sematkan pada hamba lainnya. Mungkin saja pada Hamba Allah yang berpayah-payah mendaki Bawakaraeng misalnya, khususnya mereka yang tanpa niat lain, kecuali karena ingin berdekatan dengan Sang Khaliq.
Pada akhirnya, ritual (haji) Bawakaraeng ini meski pada awalnya adalah bagian dari negosiasi bahkan mungkin juga resistensi komunitas local terhadap satu ajaran baru, namun juga bisa menjadi kritik yang sangat bermakna bagi kita semua umat Islam. Pertanyaan reflektifnya adalah : “Kenapa ya….ada di antara umat Islam lebih memilih ke Bawakaraeng untuk berdekatan dengan Sang Khaliq di banding ke Mekkah ?”. Apakah karena sebagian dari yang sudah melaksanakan haji di antara kita, setelah kembali ke Tanah air, bukannya menjadi teladan tapi malah menempatkan dirinya pada posisi sosial yang tinggi ?. Membuat kesenjangan sosial yang ada di masyarakat semakin menganga. Ataukah karena penyelenggaraan haji baik yang dilakukan di Tanah Air maupun oleh pemerintah Arab Saudi selain mahal juga tak pernah sepi dari masalah.?
Ataukah para pencari Tuhan di Bawakaraeng itu juga tau kabar terakhir yang membuat beberapa orang yang berhaji ke Mekkah nelangsa spiritual ?. Katanya pemerintah Arab Saudi dari hari ke hari menghancurkan berbagai situs-situs bersejarah. Sami Angawi, pakar arisitektur Timur Tengah menyebut setidaknya 300 bangunan bersejarah dimusnakhkan dalam 50 tahun terakhir. Diantara itu adalah rumah Rasulullah dan beberapa maqam sahabat. Penghancuran itu dibarengi dengan pembangunan kota Mekkah menjadi lebih modern. Gedung pencakar langit dibangun, perumhan elite di tata. Starbucks, Cartier and Tiffany, H&M dan Topshop bermekaran di mana-mana. Makkah sekarang sudah seperti Las Vegas, " itulah pernyataan Ali al-Ahmad, direktur Institute for Gulf Affairs-lembaga riset oposisi Saudi untuk menggambarkan Mekkah saat ini. Terasa menyesakkan tapi itulah yang terjadi. Situs bersejarah dari Rasulullah yang sesungguhnya mendatangkan keharuan jika memandangnya, melahirkan kedalaman rasa spritualitas jika berada di dekatnya kini diratakan dengan tanah dengan alasan bisa mendatangkan kemusyrikan. Namun di saat yang sama berhala-berhala baru dibangun. Gedung pencakar langit dan menara jam yang menjulang gagah kini menjadi kebanggaan.
Entahlah…di antara sekian pertanyaan itu saya juga tidak tahu yang mana membuat mereka memilih Bawakaraeng dibanding Mekkah. Bisa salah satunya, namun sangat mungkin juga semuanya. Tapi yang pasti menangguk hikmah dari tradisi ritual (haji) Bawakaraeng lebih bermakna bagi kita semua dari sekadar mengadili dan menyalahkan mereka.
0 Response to "DI BALIK RITUAL (HAJI) BAWAKARAENG"
Post a Comment